Suasana dan keadaan yang telah
dilalui hadits sejak dulu hingga masa dewasa ini, dapat ditarik sebuah garis
besar bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum syari’at yang melalui
empat priode dan sekarang menempuh periode kelima
Masa pertama: Masa Rasulallah. Rasulullah hidup ditengah-tengah
masyarakat sahabatnya, para sahabat dapat berjumpa langsung dengan rosulullah,
berinterkas dengan bebas, sehingga seluruh perbuatan, ucapan dan ketetapan Nabi
Muhammad SAW menjadi perhatian para sahabat, namun tidak semua sahabat yang
dapat berinteraksi dengan Rasulullah hingga mengikuti beliau kemanapun dia
pergi, mengingat keadaan sahabat yang berbeda-beda ada yang tinggal di kota, di
dusun, ada pula karena propesi yang menghalangi mereka untuk berinteraksi
secara leluasa dengan Rasulallah SAW.
Para sahabat dalam menerima
hadits nabi perpegang kepada kekuatan hafalan mereka bukan dengan jalan
menulis:
لا تكتبوا عني غير القران (رواه
مسلم)
“janganlah kamu
menuliskan dariku kecuali Al-Qur’an” (HR.
Muslim)
Maka mereka menghafal Hadits dari
rasul dan menyampaikannya kepada orang laian dengan cara dihafal pula.
Kebanyakan ulama berpendapat
bahwa larangan menuliskan hadits dimansukhkan oleh perintah sesudahnya :
اكتب عني فوالذي نقسي بيده ما خرج
من فمي الا حق
“Tulislah apa yang engkau dengar dariku demi tuhan yang jiwaku
ada ditangannya, tidak keluar dari mulutku kecuali kebenaran”
Sebagian ulama berpendapat bahwa
larangan menuliskan hadits titujukan bagi mereka yang dikhawatirkan mencampur
adukan al-quran dan as-sunnah.
Tegasnya, mereka berpendapat
bahwa tidak ada pertentangan antara dilarang dan diizinkan, apabila kita pahami
bahwa yang dilarang adalah pembukuan secara resmi seperti al-quaran. Dan
diizinkan bagi mereka yang hanya menulis sunnah untuk dirinya sendiri.
Cara-cara para sahabat
meriwayatkan hadits adakalanya dengan lafal asli dan adakalanya dengan maknanya
saja.
Lafal-lafal yang yang dipakai
oleh para sahabat dalam meriwaytkan hadits, baik perkataan, perbuatan dan
ketetapannya para ahli usul membaginya kedalam lima derajat
سمعت رسول
الله صلى الله عليه وسلم .....
قال صحا بى
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم......
قا ل صحا
بي امر رسل الله صلي الله عليه وسلم......
قا ل صحا
بي امرنا رسل الله صلي الله عليه وسلم كذا..
نحن صحا بة
نعمل كذا و رسل الله صلي الله عليه وسلم.......
Masa kedua: Masa Khulafa’ Rasyidin. Setelah Rasulullah wafat, para
sahabat tidak lagi berdiam di madinah, mereka pergi kekota-kota lain sehingga
hadits tersebar luas namun pada waktu itu hadits sangat terbatas sekali, hadits
hanya disampaikan kepada orang yang membutuhkan saja dan apabila perlu saja
karena ditakutkan banyak riwayat-riwayat yang terdapat tanda-tanda kepalsuan.
Perkembangan hadits dan memperbanyak riwayat terjadi setelah kholifah abu bakar
yaitu umar bin khotob, utsman bin affan dan ali bin abi thalib.
Dengan tegas sejarahwan
mengungkapkan ketika umar menjabat menjadi khalifah beliau memerintahkan para
sahabat dengan tegas agar menyelidiki riwayat. Ada dugaan sebagian ahli sejarah
hadits bahwa umar pernah memenjarakan ibnu mas’ud dan abu dzar laantaran
memperbanyak riwayat. Namun dugaan ini tidak ditemukan dalam sebuah kitab yang mutabar
dan tanda kepalsuanpun namapak. Ibnu masud orang yang dihormati oleh umar
sedang dimaklumi pula dalam menentukan hukum memerlukan hadits. Megenai abu
dzar dan ibnu mas’ud sejarah ahli hadits tidak memasukan ibnu mas’ud dan abu
dzar kedalam golongan yang memperbanyak riwayat.
Sehingga pada masa khulafa’
rasyidin ditetapkan dalam periwayata sebuah hadits agar para sahabat berhati-hati
dalam menerima hadits harus (disyaratkan) disaksikan kebenarannya oleh orang
yang laian.
Masa ketiga: masa sahabat dan tabiin. Setelah masa utsman dan ali,
banyak wilayah-wilayah yang ditaklukan islam, seperti syiria, irak (20 H) mesir
(21 H), Persia (56 H), sepanyol (96 H) para sahabatpun banyak yang berpindah ke
tempat-tempat itu kemudian mendirikan “pesantren” tempat mengajarkan Al-Quran
dan al-hadits lalu timbulah usaha yang
lebih serius untuk mencari dan menghafal hadits serta menyebarkannya ke
masyarakat luas.
Dalam fase ini hadits mulai
disebarkan dan mulai diperhatikan, para tabiin mulai memberikan perhatian
secara sempurna kepada para sahabat para tabiin berusaha menjumpai para sahabat
ke tempat-tempat yang jauh dan berusaha “memindahkan hafalan” sebelum para sahabat
meninggal. Tentunya yang dicari adalah para sahabat yang banyak meriwayatkan
hadits dari nabi diantaranya ialah orang yang pertama memeluk islam, terus
menerus mendampingi nabi, diantara para sahabat yang banyak meriwayatkan hadits
nabi ialah:
1.
Abu Hurairah,
sebanyak 5.374 Hadits
2.
Abdullah bin Umar,
sebanyak 2.630 Hadits
3.
Aisyah, sebanyak
2.21o Hadits
4.
Abdullah bin Abbas,
sebanyak 1.660 Hadits
5.
Jabir bin Abdullah,
sebanyak 1.540 Hadits
6.
Ibnu Said Al-khudry,
sebanyak 1.170 Hadits
Diantara hal yang tumbuh dalam
masa ketiga ini. Muncul orang-orang yang membuat hadits palsu. Hal ini terjadi
setelah ali wafat.
Sejak menyebar luasnya fitnah di
akhir masa utsman, umat islam terpecah menjadi beberapa golongan. Pertama, golongan
yang mendukung ali, yang kemudian dinamakan syiah. Kedua, golongan yang
menentang ali dan muawiyah, yaitu khwarij. Ketiga, golongan jumhur yaitu
golongan yang pro pemerintah pada saat itu.
Umat islam yang terpecah belah
kedalam golongan-golongan tersebut, demi kepentingan politik mereka berupaya
mendatangkan hujjah untuk mendukung eksistensi mereka. Maka mereka berusaha
membuat hadits-hadits palsu dan menyebarkannya kepada masyarakat.
Mulailah pada pase ketiga ini
periwayatab hadits terbagi menjadi dua, yaitu riwayat shahih dan riwayat palsu.
Kian hari kian bertambah dan beraneka pula, yang mula-mula melakukan
pekerjaan ini adalah golongan syiah, sebagaimana yang diakui oleh
Ibnu Abi Al-Haddad, seorang ulama syiah dalam kitabnya syarah nahjul balaghoh
dia menulis,”ketahuilah bahwa asal mula timbul hadits yang menerangkan
keutamaan pribadi-pribadi adalah dari golongan syiah sendiri”.
Maka dengan keterangan ringkas
ini nyatalah bahwa kota yang mula-mula mengembangkan hadits-hadits palsu ilaha Baghdad (irak)
Masa keempat: masa pengumpulan dan pembukuan Hadits. Ketika
khalifah dipegang oleh Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan pada tahun 99 H.
seorang khalifah yang terkenal adil dan wara’ sehingga beliau dipandang
“khalifah Rasyidin kelima” tergerakan hatinya untuk membukukan hadits mengingat
banyak para perawi yang meninggal. Beliau khawatir bila hadits tidak sgera
dikumpulkan dan bukukan dari perawinya, mungkinlah hadits itu akan lenyap dari
permukaan bumi dan dibawa kea lam barzakh oleh para penghafalnya.
Untuk mewujudkan maksud dan tujun
baik tersbut Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada gubernur di semua
wilayah supaya berusaha hadits-hadits yang ada pada ulama yang tinggal di
wilayah mereka masing-masing.
Kitab yang ditulis oleh Ibnu
Hazm adalah kitab hadits yang pertama
ditulis atas perintah kepala Negara, namun tidak samapai kepada kita karena tidak
dipelihara dengan semestinya. Kemudian ulama besar berlomba-lomba membukukan
hadits, dengan tidak menyaringnya maka dalam perkembangan ini muncul beberapa
istilah hadits berdasarkan ujung sanadnya. Maka dalam kitab-kitab itu terdapat
hadits marfu’, maukuf dan maqthu’.
Seorang imam besar bernama Ishaq
bin rahawaih, terdorong untuk memulai usaha memisahkan hadits-hadits shohih dan
yang tidak. Pekerjaan mulia ini kemudian disempurnakan oleh imam Al-bukhary
yang menyusun kitabnya yang terkenal jami’u shahih yang membukukan
hadits-hadits yang dianggap shahih saja, kemmudian diikuti oleh muridnya yang
sangat alim, yaitu imam muslim maka dengan usaha keras syaikhon ini kita
menemukan sumber hadits-hadits yang shahih.
Sesudahnya imam bukhari dan imam
muslim tersusun, muncul pula beberapa imam yang mengikuti jejek kedua pujangga
tersebut seperti abu dawud, at-turmudzi, an-nasai’, kemudian terkenal dalam
kalangan masyarakat sebagai Al-Ushul Al-Khomsah dasiamping itu ibnu
majjah berusaha menyusun kitab sebuah kitab, kemudian oleh sebagian ulama
digolongkan sebagai kitab induk, lalu menjadikan kitab induk itu enam buah dan
banyak dikenal dengan nama Al-Kutub As-Sittah.
Masa kelima. Priode mensyarhkan.
Setelah kitab-kitab induk hadits terhimpun kemudian disusul dengan
kitab-kitab kumpulan hadits ahkam, kumpulan hadits bilangan dan lain sebagainya,
namun masih ada yang kurang, mengingat bahasa yang dipakai oleh rasulullah SAW
penuh dengan makna yang terkandung didalamnya, sehingga diperlukan sekali
mensyarahkan hadits, terutama bagi orang-orang yang dalam tahap pembelajaran,
priode mensyarahkan hadits ini samapi sekarang masih berjalan.